Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dalam hal seorang debitur hanya mempunyai satu kreditur dan debitur tidak membayar utangnya dengan suka rela, maka kreditur akan menggugat debitur secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitur dipakai untuk membayar kreditor tersebut. Sebaliknya dalam hal debitur mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditur, maka para kreditur akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.
Kreditur yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Kepailitan, yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang dipaparkan di atas
II.1.1 Pengertian Utang dalam Undang-Undang Kepailitan-PKPU
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan-PKPU, dikatakan bahwa “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”.
Sehubungan dengan uraian di atas maka dapat dipahami secara khusus apa yang dimaksud dengan “utang”, berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan-PKPU, yakni :
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.”
Pengertian utang sebelumnya tidak diatur dalam versi UU No. 4 tahun 1998, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan penyilangan pendapat. Diharapkan melalui penjelasan dalam UU No. 37 tahun 2004, tidak akan lagi terjadi perbedaan pendapat mengenai ruang lingkup pengertian utang.
II.1.1 Pengertian Debitor-Kreditor dalam Undang-Undang Kepailitan-PKPU
Menurut Pasal 1 angka 3 UU Kepailitan-PKPU yang dimaksud dengan debitur adalah sebagai berikut :
“Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.”
Sedangkan Pasal 1 angka 2 UU ini menjelaskan tentang pengertian kreditor, yakni :
“Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”
II.1.2 Dasar Hukum Kepailitan
Kepailitan diatur dalam:
a) KUH Perdata khususnya Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1134;
b) UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, LNRI 2004, No. 131;
c) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 14 dan Pasal 142.
II.2 Fungsi Undang-Undang Kepailitan
Dilatarbelakangi oleh ketidakcukupan subtansi kepailitan yang diatur oleh KUHPerdata. Maka di samping terdapat ketentuan mengenai tingkat prioritas dan urutan pelunasan masing-masing piutang, diperlukan undang-undnag lain yang mengatur cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitor untuk melunasi piutang-piutang masing-masing kreditor berdasarkan tingkat prioritasnya. Hal ini diikuti pula dengan pengaturan subyek pembagian dan cara melakukan pembagian.
Sebelum harta kekayaan debitor dibenarkan oleh hukum untuk dijual dan hasilnya dibagi-bagikan kepada para kreditor, maka terlebih dahulu harta tsb diletakkan oleh pengadilan di bawah sita umum (demi kepentingan semua maupun kreditor tertentu). Agar dapat diletakkan di bawah sita umum, maka harus terlebih dahulu debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Mengenai bagaimana cara agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka diaturlah undang-undang kepailitan. Secara rinci, undang-undang kepailitan menentukan tentang lebenaran mengenai adanya suatu piutang, serta cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitor kepada kreditor, serta mengenai upaya pedamaian yang dapat ditempuh oleh debitor dengan para kreditornya baik sebelum maupun sesudah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan.
II.3 Asas-Asas dalam Undang-Undang Kepailitan
Terdapat tujuh asas yang dianut dalam UU Kepailitan, yakni:
a) Asas “mendorong investasi dan bisnis”
Sejak dikeluarkannya UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, banyak pengusaha Indonesia yang memiliki akses langsung ke lembaga-lembaga penyiaran yang ada di luar negeri dan telah memperoleh pinjaman dari lembaga tersebut.
Dalam hubungan itu, undang-undang kepailitan yang berlaku di Indonesia harus dapat mendorong investasi asing dan menumbuhkan kehidupan pasar modal. Selain itu, undang-undang kepailitan haruslah kondusif untuk memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit dari luar negeri. Guna mencapai tujuan itu, maka undang-undang kepailitan hendaknya memuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dapat diterima secara global dan sejalan dengan asas-asas hukum kepailitan di negara pemodal dan kreditor asing yang diinginkan pemerintah .
b) Asas “memberikan manfaat dan perlindungan seimbang bagi kreditor dan debitor”
Keseimbangan manfaat yang harus diberikan oleh undang-undang kepada kreditor maupun debitor, maka undang-undang kepailitan diadakan untuk memberikan manfaat dan perlindungan kepada kreditor bila debitor cidera janji; kreditor diberikan akses terhadap harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit.
Sehubungan dengan asas keseimbangan, hal ini sejalan dengan dasar negara RI, yakni Pancasila. Pancasila bukan hanya memperhatikan hak asasi tetapi memperhatikan kewajiban asasi seseorang.
c) Asas “putusan pernyataan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap debitor yang masih solven”
Sikap ini merupakan sikap Faillissementsverordening sebagaimana tercantum pada psala 1 ayat 1 yang pula ditungkan pada perpu no.1 tahun 1998 yang kemudian diundangkan menjadi uu no. 4 tahun 1998,dikatakan bahwa hanya pada seorang debitor yang telah berhenti membayar utang-utangnya dapat dikatakan pailit.
Keadaan ini harus merupakan keadaan yang objektif.dengan kata lain debitor tidak boleh hanya sekedar tidak mau membayar utang-utangnya tetapi dalam keadaan tidak mampu. Ketidakmampuan ini hanya dapat dilakukan berdasarkan financial audit atau financial due diligenceoleh suatu kantor akuntan publik yang independent.
Sebenarnya apa yang tercantum pada Pasal 2 ayat (1) tidak sejalan dengan asas ini, karena berdasarkan bunyinya memperbolehkan perusahaan yang masih solven untuk dipailitkan (tidak diisyaratkan bahwa keuangan kreditor dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya)
d) Asas “persetujuan keputusan pailit hrus disetujui oleh para kreditor mayoritas”
Demi kepentingan kreditor lain sekiranya pernyataan pailit oleh seorang kreditor disepakati oleh kreditor-kreditor lain melalui lembaga rapat para kreditor.
Di pihak lain sekalipun permohonan pailit dapat diajukan kreditor sendiri, namun keputusan tidak bisa diambil tanpa persetujuan semua mayoritas kreditor. Peradilan atau badan lain yang berwenang untuk memutuskan pernyataan pailit hanya akan mengeluarkan putusan yang bersifat penegasan (afirmatif). Jika antara kreditor-debitor tidakmencapai kata sepakat, maka putusan pengadilan tidak hanya merupakan penegasan tetapi juga menentukan.
e) Asas “keadaan diam”
Suatu undang-undang kepailitan harus menganut berlakunya keadaan diam yang berlaku secara otomatis (berlaku demi hukum). Hal ini melindungi kreditor dari upaya debitor untuk menyembunyikan atau mengalihkan sebagian atau seluruh harta kekayaan debitor kepada pihak lain yang dapat merugikan kreditor.
Selama dalam keadaan diam, debitor tidak diperbolehkan melakukan negosiasi dengan kreditor tertentu dan tidak boleh melunasi sebagian atau seluruh utangnya terhadap kreditor tertentu. Demikian pula debitor tidak diperkenankan memperoleh pinjaman baru.
f) Asas “mengakui hak separatis kreditor pemegang hak jaminan”
Hak separatis adalah hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor pemegang hak jaminan bahwa barang jaminan yang dibebani dengan hak jaminan tidak termasuk harta pailit. Dengan demikian pemegang jaminan tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi atas harta kekayaan debitor yang dibebani hak jaminan itu.
Namun UU No. 4/1998 maupun UUK-PKPU tidak menjunjung tinggi hak separatis itu. Dalam pasal-pasalnya ditentukan hak ekesekusi kreditor pemegang hak jaminan ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
g) Asas ”proses putusan pernyataan pailit”
Untuk menjamin proses kepailitan yang tidak berlarut-larut, undang-undang harus membatasi berapa lama proses kepailitan tuntas sejak proses kepailitan itu dimulai. Batas waktu ini hendaknya tidak terlalu lama tetapi juga tidak terlalu pendek karena hanya mengakibatkan dihasilkannya putusan yang mengecewakan.
II.4 Syarat-syarat Kepailitan
Pentingnya mengetahui syarat-syarat kepailitan adalah karena apabila permohonan pernyataan pailit tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh pengadilan niaga.
1I.5.1 Syarat Kreditor
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah debitor harus mempunyai 2 kreditor atau lebih (concursus creditorum). Apabila hanya tedapat satu orang kreditor, maka eksistensi UUK-PKPU kehilangan raison d’etre-nya. Dalam hal ini, kreditor diperbolehkan pengajuan pernyataan pailt. Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan jaminan utang tidak perlu diatur pembagian hasil penjualan hartanya. Sudah pasti seluruh hasil penjulan harta tsb merupakan sumber sumber pelunasan.
Namun demikian persyaratan jumlah kreditor tidak diatur secara jelas dalam UUK-PKPU. Dan pula mengenai ketidakadanya peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pendaftaran setiap utang yang diterima oleh setiap debitor pada suatu badan khusus, membuat kreditor pemohon sulit mengetahui adanya kreditor-kreditor lain dari debitor. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 299 UUK-PKPU dan ketentuan Pasal 163 HIR dan Pasal 1865 KUH Perdata, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitor memiliki lebih dari satu kreditor dan beserta buktinya.
Kreditor yang dimaksud Pasal 2 ayat (1) adalah boleh sembarang kreditor, tanpa mempertimbangkan apakah kreditor preferen ataupun kreditor konkuren maupun kreditor separatis. Sehubungan dengan pasal ini, maka kreditor pemegang hak jaminan tidak harus terlebih dahulu melepaskan hak jaminannya itu apabila ingin mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitornya.
II.5.1 Syarat Adanya Utang
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tidak membedakan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang telah ditagih tetapi belum jatuh waktu.
Namun sebenarnya kedua istilah itu berbeda pengertian dan kejadiannya. Pada hal kredit perbankan, kedua hal tsb jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu adalah utang yang dengan terlampau waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditor berhak untuk menagihnya. Sedangkan utang yang belum jatuh waktu, dalam dunia perbankan utang tsb dapat ditagih karena ada events of default. Yakni klausul yang memberikan hak kepada bank untuk menyatakan nasabah cidera janji apabila salah satu peristiwa yang tercantum dalam events of default itu terjadi. Hal ini juga memberikan hak kepada bank untuk menghentikan penggunaan kredit lebih lanjut.
Contoh peristiwa yang dapat diperjanjikan di dalam events of default antara lain, apabila melanggar hal-hal berikut :
Selama kredit belum lunas, debitor dilarang tanpa seizin bank melakukan pembagian deviden, membuka kantor cabang, melakukan perubahan susunan anggota direksi dan komisaris; menjual asset bank.
Selama kredit belum lunas, debitor wajib melakukan :
1. Setiap tahun selambat-lambatnya pada akhir bulan Maret pada tahun berikutnya menyampaikan laporan tahunan mengenai keadaan keuangan selama setahun yang lalu berupa neraca dan laporan laba/rugi yang telah diaudit oleh akuntan publik yang independen.
2. Setiap enam bulan sekali menyampaikan laporan keuangan baik neraca maupun laba rugi yang tidak diaudit oleh akuntan publik.
Jadi, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara pengertian “utang yang telah jatuh waktu” dengan “utang yang telah dapat ditagih” adalah, utang hanya dapat dikatakan jatuh waktu bila menurut perjanjian kredit telah sampai pada jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu.
Sedangkan utang yang dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan percepatan waktu penagihannya maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Namun penjelasan ini tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan terkesan terlalu memaksakan.
II.5 Mekanisme Pengajuan Pailit
Berdasarkan pengertian-pengertian dasar mengenai kepailitan, berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Niaga dalam memutus permohonan pernyataan pailit:
1. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (2) UUK menentukan bahwa Pengadilan Niaga yang berwenang menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor;
2. Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK, dalam hal Debitor adalah persero suatu firma, Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) tersebut mengemukakan bahwa dalam hal menyangkut putusan atas permohonan pernyataan pailit oleh lebih dari satu Pengadilan Niaga yang berwenang mengenai Debitor yang sama pada tanggal yang berbeda, maka putusan yang diucapkan pada tanggal yang lebih awal adalah yang berlaku. Selanjutnya penjelasan Pasal 2 ayat (3) tersebut menentukan pula bahwa dalam hal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan oleh Pengadilan Niaga yang berbeda pada tanggal yang sama mengenai Debitor yang sama, maka yang erlaku adalah putusan Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum Debitor;
3. Bagaimana halnya apabila Debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia? Menurut Pasal 2 ayat (4) UUK, dalam hal Debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah Republik Indonesia, Pengadilan Niaga yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor Debitor yang menjalankan profesi atau usahanya itu;
4. Bagaimana menentukan Pengadilan Niaga mana yang berwenang Debitor adalah suatu badan hukum, seperti perseroan terbatas, koperasi, dan yayasan? Menurut Pasal 2 ayat (5) UUK, dalam hal Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya PN yang sesuai dengan Anggaran Dasar badan hukum tersebut;
5. Menurut Pasat 3 ayat (1) UUK, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor perorangan yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Mengenai ketentuan ini, penjelasan pasal tersebut mengemukakan, ketentuan ini hanya berlaku apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor. Persetujuan dari suami atau istri Debitor diperlukan, karena menyangkut harta bersama (terdapat percampuran harta). Sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 3 ayat (1) UUK, Pasal 3 ayat (2) UUK menentukan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada percampuran harta.
Permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 4 ayat (1) UUK, diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Pasal 4 ayat (2) UUK menentukan, Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan.
Menurut Pasal 2 ayat (5) UUK, dalam konteks Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya. Dengan kata lain Pengadilan Niaga yang berwenang memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnva meliputi tempat kedudukan hukum dari badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan Anggaran Dasar badan hukum tersebut.
Menurut Pasat 3 ayat (1) UUK, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor perorangan yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Mengenai ketentuan ini, penjelasan pasal tersebut mengemukakan, ketentuan ini hanya berlaku apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor. Persetujuan dari suami atau istri Debitor diperlukan, karena menyangkut harta bersama (terdapat percampuran harta). Sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 3 ayat (1) UUK, Pasal 3 ayat (2) UUK menentukan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada percampuran harta.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 6 ayat (4), harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Mengingat kualitas Pengadilan Indonesia yang masih sangat menyedihkan pada saat ini, penulis meragukan jangka waktu tersebut akan atau dapat dipatuhi dengan baik. Menurut hemat penulis pula, jangka waktu 30 (tiga puluh) hari untuk memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit sangat pendek. Dikhawatirkan kualitas putusan yang diambil akan jauh dari adil dan memuaskan karena terpaksa dilakukan secara terburu-buru. Jangka waktu tersebut seyogianya lebih panjang. Paling sedikit 90 (sembilan puluh) hari.
Sehubungan dengan kemungkinan pengambilan putusan Pengadilan Niaga diambil melampaui tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, Mahkamah Agung RI dalam putusan mengenai permohonan Peninjauan Kembali No. 011PK/N/1999 dalam perkara PT Bank Yakin Makmur (PT Bank Yama) sebagai Pemohon PK/Pemohon Kasasi/Termohon Pailit melawan PT Nassau Sport Indonesia sebagai Termohon PK/Termohon Kasasi/Pemohon Pailit dalam pertimbangan hukumnya mengemukakan bahwa alasan permohonan Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, sebab meskipun putusan dijatuhkan melampaui tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, hal tersebut tidak membatalkan putusan.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (5) UUK. Selanjutnya Pasal 6 ayat (5) UUK menentukan bahwa putusan tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (putusan serta-merta atau uitvoerbaar bij voorraad).
Dalam jangka waktu paling lambat 2 x 24 jam terhitung sejak tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan, Pengadilan Niaga wajib menyampaikan dengan surat dinas tercatat atau melalui kurir kepada Debitor, kepada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, dan kepada Kurator serta Hakim Pengawas, salinan putusan Pengadilan Niaga yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut (Pasal 6 ayat (6) UUK).
II.6 Akibat Hukum Kepailitan
Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 21 UU Kepailitan, tampaklah bahwa kepailitan berkaitan dengan harta benda debitor. Oleh karena itu, dengan dinyatakan pailit, maka :
A. Debitor
Debitor akan kehilangan hak menguasai dan mengurus kekayaannya;
Perikatan yang muncul setelah pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke boendel pailit;
Tuntutan terhadap harta pailit diajukan ke dan/atau oleh kurator;
Penyitaan menjadi hapus;
Bila debitor ditahan harus dilepas.
B. Pemegang hak tertentu
Pemegang hak gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan lain dapat mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan;
Pelaksanaan hak tsb harus dilapor ke kurator.
II.7 Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan
II.7.1 Debitor/Kreditor
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitor ingin mengajukan permohonan pailit, sesuai dengan syarat kreditor dan debitor yang dikemukakan di sub bab sebelumnya.
II.7.2 Kejaksaan Demi Kepentingan Umum
Dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau masyarakat luas. Berikut adalah kriteria-kriteria persoalan tentang permohonan pailit demi kepentingan umum :
a. Debitor melarikan diri;
b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c. Debitor mempunyai hutang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat luas;
d. Debitor mempunyai hutang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;
e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah hutang-piutang yang telah jatuh tempo; atau
f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Perihal lebih lanjut mengenai permohonan pailit demi kepentingan umum, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2000 tentang Permohonan Pailit demi Kepentingan Umum.
II.7.3 Bank Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (3) UUK disebutkan dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan “bank” adalah sebagaiman diatur dalam pasal perundang-undangan. Pengajuan permohonan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan perbankan secara keseluruhan oleh karena itu tidak dipertanggungjawabkan.
Kewenangan Bank Indonesia dalam mengajukan permohonan tidak terkait dengan ketentuan pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum dan likuidasi bank sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Melalui ketentuan tsb tampak bahwa undang-undang menyadari bahwa bank sebagai badan usaha mempunyai karakteristik tersendiri jika dibanding badan usaha lainnya.
Pengaturan tentang Bank Indonesia sendiri diatur dalam UU No. 23 tahun 1999 yang kemudian diubah melalui UU No. 3 tahun 2004. Dalam produk hukum ini, ditegaskan bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara independent dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam dalam undang-undang.Oleh karena itu, bank mempunyai wewenang untuk memberikan dan mencabut izin kelembagaan an kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 4 jo. Pasal 2 UU No. 3 tahun 2004).
Dikaitkan dengan kepailitan, dalam UUK tidak dijelaskan kewenangan Bank Indonesia dalam kepailitan. Dalam UUK tidak dijelaskan dalam kapasitas apa Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pailit, sebagai otoritas perbankan atau bahkan sebagai kreditor.
II.7.4 Badan Pengawas Pasar Modal
Dalam Pasal 2 ayat (4) UUK, disebutkan bahwa :
“Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal”
Melalui pasalini, terlihat bahwa Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya wewenang Bank Indonesia terhadap bank.
Bahwa perlu disadari, kegiatan investasi di pasar modal rentan dengan isu informasi yang menyesatkan. Sebagaimana diketahui, transaksi efek di pasar modal mengandalkan analisis pasar yang dilakukan oleh para professional di bidang pasar modal. Oleh karena itu, jika setiap saat perusahaan yang bergerak di bidang Pasar Modal sewaktu-waktu akan dipailitkan akan menggoyahkan kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal. Jadi, menurut undang-undang ini, badan otoritas pasar modallah yang mengetahui seluk-beluk badan usaha yang bergerak di bidang pasar modal.
Oleh karena itu, jika perusahaan efek dinyatakan pailit hanya karena permintaan satu atau dua kreditor dapat mengganggu sistem yang berlaku di pasar modal secara keseluruha.
II.7.5 Menteri Keuangan Republik Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (5) UUK, dikemukakan bahwa :
“Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”
Kewenangan pernyataan pailit bagi pihak asuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan, hal ini bertujuan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi, sebagai lembaga pengelola resiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang berkedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.
Kewenangan untuk menyatakan pailit bagi dana pensiun sepenuhnya ada di tangan Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dana pensiun mengingat dana pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah banyak dan merupakan hak peserta yang banyak jumlahnya.