Friday 19 February 2010

Krisis Keuangan Global Amerika Serikat

Ketika kondisi perekonomian sebuah negara adidaya berubah dan mengalami goncangan, maka dapat dipastikan akan membawa konsekuensi yang luas pada perekonomian dunia. Dalam hal ini, krisis keuangan Amerika Serikat telah mempengaruhi tatanan sistem keuangan berbagai negara.

Bermula dari Subprime Mortgage

Sejak tahun 1925, di Amerika Serikat sudah ada Un¬dang-undang Mortgage, yaitu Peraturan yang berkaitan den¬gan sektor properti, termasuk kredit pemilikan rumah. Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapatkan kemudahan kredit kepemilikan prop¬erti, seperti KPR. Kemudahan pemberian kredit terjadi ketika harga properti di AS sedang naik. Para pe¬nyedia kredit properti memberikan suku bunga tetap se¬lama tiga tahun. Hal itu membuat banyak orang mem¬beli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga tahun sebelum suku bunga disesuaikan.

Permasalahannya, banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti di Amerika Serikat menyalurkan kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak mendapatkan pembiayaan. Mereka adalah orang den¬gan latar belakang yang tidak memiliki pemasukan dan pekerjaan, sehingga tidak mempunyai kekuatan ekonomi un¬tuk menyelesaikan tanggungan kredit yang mereka pin¬jam. Situasi tersebut memicu terjadinya kredit macet di sektor properti (subprime mortgage). Selanjutnya, kredit macet di sektor properti mengakibatkan efek domino ambruknya lembaga-lembaga keuangan besar di Amer¬ika Serikat. karena, lembaga pembiayaan sektor properti pada umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain, termasuk lembaga keuangan.

Jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan kredit properti adalah surat utang, yang dijual kepada lembaga-lemba¬ga investasi dan investor di berba¬gai negara. Padahal, surat utang itu ditopang oleh jaminan debitor yang kemampuan membayar KPR-nya rendah.

Dengan banyaknya tunggakan kredit properti, perusahaan pembi¬ayaan tidak bisa memenuhi kewa¬jibannya kepada lembaga-lembaga keuangan, baik bank investasi maupun asset manage¬ment. Hal tersebut mempengaruhi likuiditas pasar modal maupun sistem perbankan, sehingga mengakibatkan pengeringan likuiditas lembaga-lembaga keuangan akibat tidak memiliki dana aktiva un¬tuk membayar kewajiban yang ada. Ketidakmampuan bayar kewajiban tersebut membuat lembaga keuangan lain yang memberikan pinjaman juga terancam bang¬krut.

Kondisi yang dihadapi lembaga-lem¬baga keuangan besar di Amerika Ser¬ikat juga mempengaruhi likuiditas lem¬baga keuangan lain, yang berasal dari Amerika Serikat maupun di luar Amerika Serikat. Terutama lembaga yang meng-investasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar di Amerika Serikat. Di sinilah krisis keuangan global bermula.

Untuk menghindari meluasnya kri¬sis subprime mortgage dan membawa dampak buruk terhadap perekonomian Amerika Serikat, pemerintah Amerika Serikat dan Bank Sentral Amerika (The Fed) mengeluarkan kebijakan untuk membantu beberapa lembaga-lembaga keuangan besar tersebut. Upaya tersebut sekaligus dikemas dalam kebijakan moneter untuk menekan angka inflasi serta menstabil¬kan nilai tukar mata uang dolar Amerika Serikat.

Rangkaian tindakan antisipasi di Amerika Serikat telah dimulai pada tanggal 5 September. Saat itu, pe¬merintah AS mengambil alih perusahaan pembiayaan Fannie Mae dan Freddie Mac untuk penyehatan arus kas dua perusahaan tersebut. Selanjutnya, pada tanggal 16 September The Fed mengucurkan pinjaman USD 85 miliar ke American International Group untuk mengambil alih 80 persen saham perusahaan asuransi tersebut. Pada tanggal 18 September 2008, Pemerintah AS meminta Kongres untuk menyetujui paket penyelama¬tan ekonomi, berupa dana talangan pemerintah (bail¬out) USD 700 miliar. Presiden George Bush menyata¬kan perekonomian AS dalam bahaya jika Kongres tidak menyetujui rencana bailout. Meskipun demikian, tanggal 29 September 2008, Kongres AS menolak rencana bailout. Akibatnya, In¬deks Dow Jones merosot 778 poin, posisi yang terbe¬sar dalam sejarah pasar saham di Amerika Serikat. Akhirnya tanggal 3 Oktober 2008, Kongres menyetujui bailout. Selanjutnya, Presiden Bush menan¬datangani UU Stabilisasi Ekonomi Darurat 2008. Un¬dang-undang yang memuat rencana pengucuran dana talangan pemerintah (bailout) sebesar USD 700 miliar untuk mengambil alih beberapa perusahaan dan lem-baga keuangan yang merugi di pasar modal AS.

Dampak Krisis Keuangan AS yang Mengglobal

Masalah subprime mortgage di Amerika Serikat sebenarnya sudah mulai terlihat sejak Agustus 2007. Hal itu sudah ditengarai akan menjadi gelembung sub¬prime (bubble), akan tetapi pemerintah Amerika Serikat terus mengucurkan uang dan menurunkan suku bunga untuk mengangkat sektor industri teknologi yang men-galami penurunan. Usaha Pemerintah AS dengan mengucurkan dana talangan pemerintah sebesar USD 700, hanya semen¬tara saja dapat meredam gejolak pasar. Pasalnya, mayoritas investor di seluruh dunia terpaksa menjual por¬tofolio saham yang dimiliki secara besar-besaran untuk menutupi kebutuhan likuiditas sehingga mengakibatkan terhempasnya pasar modal dunia.

Secara khusus di Wall Street, mayoritas investor yang mengalami kerugian pada saat indeks saham jatuh 777,7 poin, akibat penolakan bailout oleh House of Representative, Juga ikut menjual portofolio yang ditanam di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pada tanggal 10 Oktober, indeks bursa berbagai negara kembali jatuh, sehingga sepuluh bank sentral dari berbagai negara menurunkan suku bunga agar beban utang para investor yang merugi tidak semakin besar.

No comments:

Post a Comment